JOGJA IN 72 HOURS



1.Giriloyo
Kampung Batik Giriloyo adalah tempat wisata edukasi membatik yang berada di Yogyakarta. Kampung Batik Giriloyo terletak di Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Kampun batik Giriloyo telah dikenal sebagai salah satu sentra batik di DIY yang kaya akan sejarah. Kampung ini juga memiliki Paguyuban Batik Giriloyo, sebuah perkumpulan kecil perajin batik di tiga dusun, yaitu Giriloyo, Cengkehan, dan Karang Kulon. Batik yang ada di tempat ini merupakan turun-temurun dari abad ke-17 yang merupakan batik klasik Mataram. Dalam sejarahnya, batik pada zaman dahulu dipakai oleh para bangsawan, bukan orang biasa. Masyarakat setempat kemudian diajarkan membatik lantaran adanya kebutuhan sandang yang cukup banyak dari Kerajaan Mataram pada waktu itu. Lalu pada tahun 2006, gempa mengguncang Yogyakarta. Bencana tersebut merusak ratusan ribu rumah dan menyebabkan ribuan orang meninggal. Peristiwa tersebut juga menjadi awal berdirinya Paguyuban Batik Giriloyo, sekaligus pemberdayaan perajin batik di area tersebut. Kampung Batik Giriloyo buka dari pukul 08.00 – 17.00 WIB. Jika dari Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu, jaraknya 17-18 kilometer dengan waktu berkendara sekitar 32 menit. Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (jaraknya hanya sekitar 15 km/ kira-kira 30 menit). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di kaki bukit. Suasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut

Wisatawan yang datang ke sini dianjurkan ikut salah satu kegiatan andalan tempat ini, yaitu belajar membatik. Selain menambah pengalaman, kegiatan ini dapat memberi pemahaman baru akan batik serta melatih kesabaran dan kreativitas. Kegiatan ini sudah dilengkapi peralatan, bahan, dan pengajar yang sudah berpengalaman. Setelah membatik, peserta juga bisa melihat proses pewarnaan. Selanjutnya, kain batik hasil karya mereka sendiri boleh dibawa pulang setelah dijemur. Motif untuk belajar membatik biasanya motif yang mudah, salah satunya bunga. Jika peserta ingin motif klasik, dianjurkan untuk memberitahu pihak pengelola agar disiapkan terlebih dahulu. Kampung Batik Giriloyo memiliki galeri yang letaknya tidak jauh dari pendopo tempat belajar membatik. Sembari menunggu kain hasil kegiatan belajar membatik kering, wisatawan bisa mengunjungi tempat ini.


 







2.Omah Kecebong

Terletak di Dusun Sendari, Kabupaten Sleman, di pinggir Kota Yogyakarta, Omah Kecebong adalah Rumah Tamu eksklusif dengan arsitektur bambu di lingkungan desa dan menyegarkan. Omah Kecebong memberikan anda pengalaman berbaur dengan budaya Jawa melalui wisata desa yang menarik. Fasilitas Omah Kebecong juga lengkap dengan kuliner, galeri, outbond, dan mushola. Omah Kecebong juga mempunyai acara-acara seperti sesi foto dan Fun Games. Ada beberapa macam Fun Games yang diadakan, yaitu memanah, lompat dadu, Jenga, permainan unik Semar Kubil, dan menyangkutkan topi ke kail, dan dimainkan secara berkelompok. Objek wisata hits yang satu ini mengandalkan budaya Jogja termasuk panorama desa, permainan tradisional hingga kuliner desa. Berada di sini, wisatawan akan merasa kembali ke Jogja masa lalu. Selain memberdayakan warga sekitar, Omah Kecebong ingin mengangkat nilai dan nama dari Dusun Sendari sampai ke luar negeri. “Tujuannya supaya warga di sini dapat menjual potensi yang ada pada mereka, terutama UMKM dan komunitas organisasi,” kata Jono. Salah satu kegiatan berbudaya membatik di Omah Kecebong adalah dari warga sendiri, yaitu UMKM Batik Mekar Lestari yang merupakan binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman. “Selain menjual batik, kami juga mengedukasi pengunjung untuk dapat membuat batik. Kami memiliki batik cap kombinasi dan batik tulis,” kata Harianti, pengelola Batik Mekar Lestari di Omah Kecebong. Rumah budaya ini tak sepi pengunjung. Pengunjung yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia dan juga luar negeri. Bagi pengunjung yang berniat untuk wisata ke sini, tidak perlu khawatir. Fasilitas Omah Kecebong sangat lengkap. Beberapa di antaranya seperti area parkir luas, guest house, mushola, taman, kuliner dan lainlain. Selama berada di sini, pengelola akan memenuhi segala kebutuhan pengunjung. Bahkan, untuk yang menginap ada layanan antar jemput, misalnya dari bandara, stasiun, terminal atau lokasi lain. Jangan lupa untuk mampir ke gallery oleh-oleh Omah Kecebong. Karena di sana terdapat banyak koleksi khas tradisional Jogja seperti kain batik, tote bag, baju batik, selendang, gantungan kunci, dan berbagai souvenir lainnya

Tiket masuk Omah Kecebong tidak terjual secara terpisah, pengunjung bisa membeli paket. Artinya, ketika membeli paket wisata tertentu, maka sudah termasuk dengan biaya tiket masuk. 
Outbound Rp200.000,00 – Rp500.000,00 (24 orang, 4 – 5 jam) 
Rp300.000,00 – Rp600.000,00 (24 orang, 5 – 7 jam) 
Guest house Rp750.000,00 – Rp1.750.000,00 
Paket makanan Rp60.000,00 – Rp100.000,00 per orang 
Paket pakaian adat Jawa, kuliner & dokumentasi Rp250.000,00 per orang

Salah satu kegiatan wisata Omah Kecebong yang menjadi andalan adalah menaiki gerobak sapi dan berkeliling desa. Durasi untuk menaiki gerobak cukup lama yakni hingga 45 menit. Wisatawan yang naik gerobak sapi, nantinya akan mengeliling desa Ketingan, Kaweden, Selokan Mataram, rumah penduduk dan persawahan. Anda akan melihat secara langsung kehidupan bernuansa desa yang khas. Bagi turis asing, kegiatan yang satu ini memang sangat menyenangkan. Ya, tempat wisata ini selalu ramai dengan turis asing maupun dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Bahkan untuk turis lokal sekalipun, menaiki gerobak sapi sangat seru dan menyenangkan. Apalagi udaranya sejuk. Jangan lupa untuk mengabadikan momen ketika sedang mengikuti kegiatan gerobak sapi







3.LAVA TOUR MERAPI
Gunung Merapi gunung berapi adalah di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004. Gunung ini memiliki potensi kebencanaan yang tinggi karena menurut catatan modern, Gunung Merapi telah mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini. kedahsyatan erupsi Merapi itu malah dijadikan destinasi wisata. Beberapa desa yang berada di radius terdekat kawah Merapi mendapat berkah dari pemanfaatan bekas dampak erupsi yang dijadikan obyek wisata. Puluhan hotel, cottage, penginapan, home stay didirikan untuk menampung kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan asing yang datang ke Merapi.

Selain ingin menikmati suasana desa, tujuan utama para wisatawan ini adalah ingin mengikuti trip lava tour yang ditawarkan para operator wisata di sana. Tersedia puluhan kendaraan jenis jeep yang akan membawa para pelancong menyusuri beberapa area yang dulunya porak-poranda. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 350.000 per kendaraan hingga Rp 600.000 sudah termasuk asuransi dan sopir yang ahli yang akan memandu wisatawan.


Tujuan pertama adalah Bukit Triangulasi. Bukit Triangulasi berlokasi di The Lost World Park merupakan batas tinggal manusia di Merapi, artinya tidak boleh ada yang membangun rumah dan hidup setelah wilayah tersebut. Di atas bukit terdapat tugu batu stinggi 70 cm dengan coretan silang bertitik dua merupakan tanda bahwa wilayah itu sangat rawan dampak merapi dan bebahaya jika di tinggali manusia. Menurut keterangan dari papan reklame di atas tanda tersebut, tugu batu ini sudah ada sejak zaman Belanda dan fungsinya sebagai tanda batas domisili kehidupan.


Tujuan kedua adalah Museum Mini Sisa Hartaku yang terletak di Dusun Petung, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Di dalam museum ini terdapat berbagai koleksi seperti kerangka hewan-hewan ternak korban letusan, hingga peralatan rumah tangga yang telah rusak akibat terkena erupsi merapi. Museum ini adalah sebuah bangunan rumah yang dulunya adalah milik seorang warga, dan hanya berjarak tujuh kilometer dari puncak Gunung Merapi.






4.Gembira Loka
Kebun Binatang Gembira Loka biasa disebut Gembira Loka Zoo (disingkat GL Zoo adalah kebun binatang yang berada di Kota Yogyakarta. [1] Berisi berbagai macam spesies dari belahan dunia, seperti orang utan, gajah asia, simpanse, harimau, dan lain sebagainya. Kebun Binatang Gembira Loka menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan Yogyakarta. Gembira Loka Zoo sempat rusak parah akibat gempa bumi Yogyakarta tahun 2006. Tetapi, setelah direnovasi Kebun Binatang Gembira Loka tetap dicari para wisatawan. Hampir setengah abad yang lalu Sri Sultan Hamengkubuwana IX mewujudkan keinginan pendahulunya untuk mengembangkan ‘Bonraja’ tempat memelihara satwa kelangenan raja menjadi suatu kebun binatang publik. Maka didirikanlah Gembira Loka di atas lahan seluas 22 hektare yang separuhnya berupa hutan lindung. Disitu terdapat lebih dari 100 spesies satwa di antaranya 61 spesies flora. Letaknya di daerah aliran Sungai Gajah Wong. Akses menuju Gembira Loka sangat mudah dengan angkutan kota dan kendaraan. Pada awalnya dimulai dari beberapa hewan macan tutul yang berhasil ditangkap penduduk setempat karena mengganggu desa dan sebagian berasal dari lereng Gunung Merapi yang hutannya terbakar akibat awan panas. Namun, sejak tahun 2010 Gembira Loka Zoo mulai merehabilitasi dan merekonstruksi kebun binatangnya. Bahkan, sampai tahun 2021 ini sedang dalam proses pembuatan untuk Zona Cakar. Beberapa pedagang asongan pun sudah mulai dibenahi, agar terkesan rapi dan bersih. Semenjak itu, GLZ mulai dikunjungi pengunjung dengan jumlah yang lebih banyak. Gembira Loka juga lengkap menyediakan kuliner, mushola, tempat istirahat dan bis transportasi di dalam zoo dan wahana kapal speedboat dan juga kapal keliling sungai. Gembira Loka juga menjual souvenirsouvenir dan boneka hewan.






5.Malioboro
Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke persimpangan Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Secara keseluruhan, kawasan Malioboro terdiri atas Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta. Jalan ini menghubungkan Tugu Yogyakarta hingga menjelang kompleks Keraton Yogyakarta. Di sisi utara adalah Jalan Margo Utomo, yang terbentang dari selatan kawasan Tugu hingga sisi timur Stasiun Yogyakarta. Antara Jalan Margo Utomo dan Jalan Malioboro dipisahkan dengan perlintasan kereta api yang cukup unik, di mana perlintasan ini menggunakan palang pintu berjenis geser. Pada masa lalu, perlintasan ini dapat dilintasi oleh kendaraan umum sebagai penghubung Jalan Margo Utomo menuju Malioboro. Namun karena meningkatnya volume kendaraan yang melintas, membuat perlintasan ini hanya boleh dilintasi oleh kendaraan-kendaraan kecil seperti becak atau sepeda, sedangkan kendaraan lain harus memutar terlebih dahulu ke arah timur melewati Jembatan Kewek, kemudian berbelok ke arah barat melalui Jalan Abu Bakar Ali, barulah sampai di Jalan Malioboro. Jalan Malioboro sebenarnya hanya terbentang dari sisi selatan rel kereta api, di depan Hotel Grand Inna hingga berakhir di Pasar Beringharjo sisi timur. Dari titik ini, nama jalan berubah menjadi Jalan Margo Mulyo hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Di sini terdapat bekas kediaman gubernur Hindia-Belanda di sisi barat dan Benteng Vredeburg di sisi timur. Jalan Malioboro menjadi batas antara Kemantren Gedongtengen dan Kemantren Danurejan, di mana sisi barat Malioboro adalah wilayah dari kemantren Gedongtengen, dan sisi timur Malioboro adalah wilayah dari kemantren Danurejan. Sedangkan seluruh sisi jalan Margo Utomo adalah wilayah dari Kemantren Jetis, dan sisi jalan Margo Mulyo adalah wilayah dari Kemantren Gondomanan. Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan ini, antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Yogyakarta, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Kantor DPRD DIY, Benteng Vredeburg, Hotel Grand Inna, Komplek Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Monumen Serangan Umum 1 Maret. Jalan Malioboro terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual kuliner Jogja seperti gudeg. Jalan ini juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain


setidaknya ada tiga teori terkait asal usul nama Jalan Malioboro: 1. Teori pertama berpendapat bahwa nama Malioboro diambil dari gelar John Churchill sebagai Adipati Marlborough Pertama (1650-1722), jenderal dari Inggris yang paling terkenal pada masanya. Nama ini digunakan untuk benteng pertahanan inggris di Bengkulu yang dinamakan Benteng Marlborough. Namun, teori ini dibantah oleh sejarawan Peter Carey yang mengemukakan bahwa tidak mungkin jalan yang digunakan sebagai jalan utama bagi Kesultanan Yogyakarta berasal dari nama Inggris. 2. Teori kedua dikemukakan tokoh asal Jogja yang berpendapat nama Malioboro mungkin berasal dari nama penginapan (pesanggrahan) yang digunakan Jayengrana (Amir Hamzah) tokoh utama Cerita Menak yang mengadopsi Hikayat Amir Hamzah. 3. Teori ketiga berasal dari Peter Carey yang berpendapat nama Malioboro berasal dari bahasa Jawa "maliabara" yang diadopsi dari bahasa Sanskerta "malyabhara" yang berarti "dihiasi karangan bunga". Hal ini berdasarkan teori nama "Ngayogyakarta" berasal dari bahasa Sanskerta "Ayodhya" (bahasa Jawa: Ngayodya), ibu kota kerajaan Rama di epos Ramayana sehingga wajar bila kesultanan menggunakan atau mengadopsi bahasa Sanskerta untuk nama jalan atau nama tempat-tempat lainnya. Secara etimologi, hubungan antara nama jalan "Maliabara" dengan kata dalam bahasa Sanskerta "malyabhara" juga pernah disinggung oleh Profesor C.C. Berg pada kuliah di Universitas Leiden pada 1950– 1960-an dan Dr. O.W. Tichelaar dalam sebuah karya ilmiah pada Kongres Orientalis Internasional ke-28 di Canberra, Australia. Maka dari itu, penggunaan nama "Maliabara" yang berasal dari bahasa Sanskerta untuk menamai jalan yang dibangun Hamengkubuwana I, sultan pertama Kesultananan Yogyakarta, setidaknya sejak tahun 1755 cukup masuk akal. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jalan ini sempat berubah nama menjadi "Margaraja", yang berarti jalan bagi tamu-tamu kerajaan menuju kediaman raja (keraton). Nama tersebut diberikan sesuai fungsi awal dari Malioboro yang menjadi jalan utama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer Utara-Selatan Pantai Parangkusumo - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Jalan Malioboro dimulai di dekat area keraton menuju ke arah utara hingga Tugu Yogya. Jalan salah satu elemen terpenting sebagai garis imajiner yang menghubungkan keraton dengan Gunung Merapi yang dianggap sakral sesuai dengan sumbu filosofi kota Yogyakarta.


Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan utama kerajaan (rajamarga) untuk kegiatan seremonial kesultanan. Saat sultan keluar dari istana dalam dan duduk di Sitinggil pada upacara publik, ia dapat melihat langsung Jalan Malioboro hingga Tugu di kejauhan. Antara Jalan Malioboro dan keraton terdapat dua pohon beringin yang diberi pagar persegi (waringin kurung) di Alun-alun Utara. Beringin kembar ini menyimbolkan penyatuan dua hal yang bertolakbelakang (loroning atunggal). Adanya tugu di sebelah utara dan beringin kembar di antara jalan utama ibu kota kesultanan memiliki arti simbolis dan filosofis yang kuat yang diciptakan oleh Hamengkubuwana I. Selain itu, jalan ini juga digunakan saat kunjungan resmi pejabat kolonial Belanda dan Inggris, seperti gubernur jenderal, untuk memasuki keraton Yogyakarta. Jalan ini punya dua fungsi penting: pertama, sebagai bentuk penghormatan kepada pejabat yang berkunjung. Kedua, sebagai cara untuk menetralisir kekuatan pejabat yang berkunjung dengan melewati tugu dan beringin kurung, mengingat pejabat akan lewat dari arah utara jalan ini. Arah utara dalam filosofi Jawa diasosiasikan dengan kegelapan, kematian, dan ilmu hitam. Pada abad ke-18 di jalan ini bermukim orang-orang dari berbagai etnis, seperti Jawa, Tionghoa, dan Belanda. Menurut Sasmito, sejak 1765 orang-orang Belanda dan Tionghoa menghuni bagian utara kota Yogyakarta, sementara orang Jawa menghuni sisanya. Hal ini terlihat dari bentuk arsitektur pemukiman di dekat bagian selatan Malioboro yang mendapat pengaruh dari arsitektur Tiongkok. Sementara pemukiman di dekat bagian utara Malioboro mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa dan Belanda, sehingga di sekitar Jalan Malioboro dapat terlihat gabungan gaya arsitektur Jawa-Tionghoa-Beland


Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun Benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini. Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, Kediaman Gubernur Belanda tahun 1830, Bank Java dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu, Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan antara orang Belanda dengan pedagang Tionghoa. Pada 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu. Saat pandemi flu Spanyol pada Oktober-November 1918 dan wabah penyakit pada 1932, Jalan Malioboro digunakan untuk arak-arakan keliling kota membawa pusaka kerajaan, Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Pare Anom. Pengaruh Belanda semakin kuat sejak dibangun Benteng Vredeburg hingga 1936 ketika orang Belanda mendominasi pemukiman di dekat benteng dan di sisi selatan stasiun. Pengaruh Tionghoa juga meningkat ketika etnis Tionghoa mendominasi pemukiman di hampir sepanjang jalan ini sekitar tahun 1936. Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada. Setelah kemerdekaan, jalan ini juga digunakan untuk pawai tahunan pasukan garnisun Yogya saat peringkatan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun 1980-an menjadi satu arah saja, dari jalur kereta api (di mana ia memulai) ke selatan - ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar dan tertua di Yogyakarta, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur yang berdekatan dengan jalur kereta api. Di sini terdapat bekas kompleks perdana menteri (kepatihan) di sisi timur. Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah iklan rokok ditempatkan di bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api - atau secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang mengiklankan rokok Marlboro, tidak diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang asing yang akan melihat kata-kata dengan nama jalan dengan produk asing sedang diiklankan. Jalan ini menjadi pusat komersial yang dipenuhi toko-toko di sepanjang jalan. Jalan Malioboro punya arti penting sebagai salah satu pusat perekonomian, hiburan, wisata, dan kuliner kota Yogyakarta. Penggunaan jalan ini pada umumnya dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL), pertokoan, penduduk lokal, dan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 Desember 2013 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo. Pada 2019, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membuat grand design untuk melakukan penataan Jalan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian. Pada 2021 pemerintah provinsi DIY telah membangun 37 sarana prasarana dengan total biaya Rp 78 miliar untuk penataan kawasan agar meningkatkan minat wisatawan. Selain itu, pemerintah juga merelokasi PKL di Jalan Malioboro ke Pusat UMKM di depan Pasar Beringhargo dan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY yang ditargetkan dimulai Januari 2022. Sebagai jalan legendaris, Malioboro juga menjadi daya tarik bagi seniman untuk mengekspresikan karya mereka. Beberapa karya seni terinspirasi dari jalan ini. Musisi Surakarta, Didi Kempot, membuat lagu asmara yang judulnya diambil dari nama jalan ini, yakni Bangjo Malioboro dan Angin Malioboro. Ada pula Doel Sumbang yang menciptakan lagu Malioboro pada tahun 1988, lagu tersebut mengisahkan tentang perjalanan dua sejoli di jalan Malioboro pada malam hari. Lagu Yogyakarta yang diciptakan oleh Katon Bagaskara pada tahun 1990 dalam album Kedua juga mencitrakan Malioboro pada malam hari, meski tidak disebutkan secara langsung. Marselli, sutradara film nasional juga mengangkat nama Malioboro dengan memproduksi film Malioboro pada tahun 1989. Malioboro juga diangkat oleh PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi VI Yogyakarta menjadi nama kereta, yakni Kereta api Malioboro Ekspres dengan relasi Yogyakarta-Malang pulang pergi























Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer