JOGJA IN 72 HOURS
1.Giriloyo
Kampung Batik Giriloyo adalah tempat wisata edukasi membatik yang berada di Yogyakarta.
Kampung Batik Giriloyo terletak di Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Kampun batik
Giriloyo telah dikenal sebagai salah satu sentra batik di DIY yang kaya akan sejarah. Kampung ini juga
memiliki Paguyuban Batik Giriloyo, sebuah perkumpulan kecil perajin batik di tiga dusun, yaitu Giriloyo,
Cengkehan, dan Karang Kulon.
Batik yang ada di tempat ini merupakan turun-temurun dari abad ke-17 yang merupakan batik klasik
Mataram. Dalam sejarahnya, batik pada zaman dahulu dipakai oleh para bangsawan, bukan orang biasa.
Masyarakat setempat kemudian diajarkan membatik lantaran adanya kebutuhan sandang yang cukup banyak
dari Kerajaan Mataram pada waktu itu. Lalu pada tahun 2006, gempa mengguncang Yogyakarta. Bencana
tersebut merusak ratusan ribu rumah dan menyebabkan ribuan orang meninggal. Peristiwa tersebut juga
menjadi awal berdirinya Paguyuban Batik Giriloyo, sekaligus pemberdayaan perajin batik di area tersebut.
Kampung Batik Giriloyo buka dari pukul 08.00 – 17.00 WIB. Jika dari Stasiun Yogyakarta atau
Stasiun Tugu, jaraknya 17-18 kilometer dengan waktu berkendara sekitar 32 menit.
Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
(jaraknya hanya sekitar 15 km/ kira-kira 30 menit). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di kaki
bukit. Suasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan kebersamaan dan kedamaian sangat
mewarnai daerah tersebut
Wisatawan yang datang ke sini dianjurkan ikut salah satu kegiatan andalan tempat ini, yaitu belajar
membatik. Selain menambah pengalaman, kegiatan ini dapat memberi pemahaman baru akan batik serta
melatih kesabaran dan kreativitas.
Kegiatan ini sudah dilengkapi peralatan, bahan, dan pengajar yang sudah berpengalaman. Setelah
membatik, peserta juga bisa melihat proses pewarnaan. Selanjutnya, kain batik hasil karya mereka sendiri
boleh dibawa pulang setelah dijemur.
Motif untuk belajar membatik biasanya motif yang mudah, salah satunya bunga. Jika peserta ingin
motif klasik, dianjurkan untuk memberitahu pihak pengelola agar disiapkan terlebih dahulu.
Kampung Batik Giriloyo memiliki galeri yang letaknya tidak jauh dari pendopo tempat belajar
membatik. Sembari menunggu kain hasil kegiatan belajar membatik kering, wisatawan bisa mengunjungi
tempat ini.
2.Omah Kecebong
Terletak di Dusun Sendari, Kabupaten Sleman, di pinggir Kota Yogyakarta, Omah Kecebong adalah Rumah Tamu eksklusif dengan arsitektur bambu di lingkungan desa dan menyegarkan. Omah Kecebong memberikan anda pengalaman berbaur dengan budaya Jawa melalui wisata desa yang menarik. Fasilitas Omah Kebecong juga lengkap dengan kuliner, galeri, outbond, dan mushola. Omah Kecebong juga mempunyai acara-acara seperti sesi foto dan Fun Games. Ada beberapa macam Fun Games yang diadakan, yaitu memanah, lompat dadu, Jenga, permainan unik Semar Kubil, dan menyangkutkan topi ke kail, dan dimainkan secara berkelompok. Objek wisata hits yang satu ini mengandalkan budaya Jogja termasuk panorama desa, permainan tradisional hingga kuliner desa. Berada di sini, wisatawan akan merasa kembali ke Jogja masa lalu. Selain memberdayakan warga sekitar, Omah Kecebong ingin mengangkat nilai dan nama dari Dusun Sendari sampai ke luar negeri. “Tujuannya supaya warga di sini dapat menjual potensi yang ada pada mereka, terutama UMKM dan komunitas organisasi,” kata Jono. Salah satu kegiatan berbudaya membatik di Omah Kecebong adalah dari warga sendiri, yaitu UMKM Batik Mekar Lestari yang merupakan binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman. “Selain menjual batik, kami juga mengedukasi pengunjung untuk dapat membuat batik. Kami memiliki batik cap kombinasi dan batik tulis,” kata Harianti, pengelola Batik Mekar Lestari di Omah Kecebong. Rumah budaya ini tak sepi pengunjung. Pengunjung yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia dan juga luar negeri. Bagi pengunjung yang berniat untuk wisata ke sini, tidak perlu khawatir. Fasilitas Omah Kecebong sangat lengkap. Beberapa di antaranya seperti area parkir luas, guest house, mushola, taman, kuliner dan lainlain. Selama berada di sini, pengelola akan memenuhi segala kebutuhan pengunjung. Bahkan, untuk yang menginap ada layanan antar jemput, misalnya dari bandara, stasiun, terminal atau lokasi lain. Jangan lupa untuk mampir ke gallery oleh-oleh Omah Kecebong. Karena di sana terdapat banyak koleksi khas tradisional Jogja seperti kain batik, tote bag, baju batik, selendang, gantungan kunci, dan berbagai souvenir lainnya
Tiket masuk Omah Kecebong tidak terjual secara terpisah, pengunjung bisa membeli paket. Artinya,
ketika membeli paket wisata tertentu, maka sudah termasuk dengan biaya tiket masuk.
Outbound
Rp200.000,00 – Rp500.000,00 (24 orang, 4 – 5
jam)
Rp300.000,00 – Rp600.000,00 (24 orang, 5 – 7
jam)
Guest house Rp750.000,00 – Rp1.750.000,00
Paket makanan Rp60.000,00 – Rp100.000,00 per orang
Paket pakaian adat Jawa, kuliner &
dokumentasi Rp250.000,00 per orang
Salah satu kegiatan wisata Omah Kecebong yang menjadi andalan adalah menaiki
gerobak sapi dan berkeliling desa. Durasi untuk menaiki gerobak cukup lama yakni hingga 45
menit. Wisatawan yang naik gerobak sapi, nantinya akan mengeliling desa Ketingan,
Kaweden, Selokan Mataram, rumah penduduk dan persawahan. Anda akan melihat secara
langsung kehidupan bernuansa desa yang khas.
Bagi turis asing, kegiatan yang satu ini memang sangat menyenangkan. Ya, tempat
wisata ini selalu ramai dengan turis asing maupun dari negara tetangga seperti Malaysia dan
Vietnam.
Bahkan untuk turis lokal sekalipun, menaiki gerobak sapi sangat seru dan
menyenangkan. Apalagi udaranya sejuk. Jangan lupa untuk mengabadikan momen ketika
sedang mengikuti kegiatan gerobak sapi
3.LAVA TOUR MERAPI
Gunung Merapi gunung berapi adalah di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung
api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi
barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di
sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004. Gunung ini
memiliki potensi kebencanaan yang tinggi karena menurut catatan modern, Gunung Merapi telah mengalami
erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang padat. Sejak tahun 1548,
gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia
yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini.
kedahsyatan erupsi Merapi itu malah dijadikan destinasi wisata. Beberapa desa yang berada di radius
terdekat kawah Merapi mendapat berkah dari pemanfaatan bekas dampak erupsi yang dijadikan obyek
wisata. Puluhan hotel, cottage, penginapan, home stay didirikan untuk menampung kunjungan wisatawan
domestik dan wisatawan asing yang datang ke Merapi.
Selain ingin menikmati suasana desa, tujuan utama para wisatawan ini adalah ingin mengikuti trip lava
tour yang ditawarkan para operator wisata di sana. Tersedia puluhan kendaraan jenis jeep yang akan
membawa para pelancong menyusuri beberapa area yang dulunya porak-poranda. Harga yang ditawarkan
mulai dari Rp 350.000 per kendaraan hingga Rp 600.000 sudah termasuk asuransi dan sopir yang ahli yang
akan memandu wisatawan.
Tujuan pertama adalah Bukit Triangulasi. Bukit Triangulasi berlokasi di The Lost World Park
merupakan batas tinggal manusia di Merapi, artinya tidak boleh ada yang membangun rumah dan hidup
setelah wilayah tersebut. Di atas bukit terdapat tugu batu stinggi 70 cm dengan coretan silang bertitik dua
merupakan tanda bahwa wilayah itu sangat rawan dampak merapi dan bebahaya jika di tinggali manusia.
Menurut keterangan dari papan reklame di atas tanda tersebut, tugu batu ini sudah ada sejak zaman Belanda
dan fungsinya sebagai tanda batas domisili kehidupan.
Tujuan kedua adalah Museum Mini Sisa Hartaku yang terletak di Dusun
Petung, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Di dalam museum ini terdapat berbagai koleksi
seperti kerangka hewan-hewan ternak korban letusan, hingga peralatan rumah tangga yang telah rusak akibat
terkena erupsi merapi. Museum ini adalah sebuah bangunan rumah yang dulunya adalah milik seorang
warga, dan hanya berjarak tujuh kilometer dari
puncak Gunung Merapi.
4.Gembira Loka
Kebun Binatang Gembira Loka biasa disebut Gembira Loka Zoo (disingkat GL Zoo adalah kebun
binatang yang berada di Kota Yogyakarta.
[1] Berisi berbagai macam spesies dari belahan dunia, seperti orang
utan, gajah asia, simpanse, harimau, dan lain sebagainya. Kebun Binatang Gembira Loka menjadi daya tarik
tersendiri bagi para wisatawan Yogyakarta. Gembira Loka Zoo sempat rusak parah akibat gempa bumi
Yogyakarta tahun 2006. Tetapi, setelah direnovasi Kebun Binatang Gembira Loka tetap dicari
para wisatawan.
Hampir setengah abad yang lalu Sri Sultan Hamengkubuwana IX mewujudkan keinginan
pendahulunya untuk mengembangkan ‘Bonraja’ tempat memelihara satwa kelangenan raja menjadi
suatu kebun binatang publik. Maka didirikanlah Gembira Loka di atas lahan seluas 22 hektare yang
separuhnya berupa hutan lindung. Disitu terdapat lebih dari 100 spesies satwa di antaranya 61 spesies flora.
Letaknya di daerah aliran Sungai Gajah Wong. Akses menuju Gembira Loka sangat mudah dengan
angkutan kota dan kendaraan. Pada awalnya dimulai dari beberapa hewan macan tutul yang berhasil
ditangkap penduduk setempat karena mengganggu desa dan sebagian berasal dari lereng Gunung
Merapi yang hutannya terbakar akibat awan panas.
Namun, sejak tahun 2010 Gembira Loka Zoo mulai merehabilitasi dan merekonstruksi kebun
binatangnya. Bahkan, sampai tahun 2021 ini sedang dalam proses pembuatan untuk Zona Cakar. Beberapa
pedagang asongan pun sudah mulai dibenahi, agar terkesan rapi dan bersih. Semenjak itu, GLZ mulai
dikunjungi pengunjung dengan jumlah yang lebih banyak.
Gembira Loka juga lengkap menyediakan kuliner, mushola, tempat istirahat dan bis transportasi di
dalam zoo dan wahana kapal speedboat dan juga kapal keliling sungai. Gembira Loka juga menjual souvenirsouvenir dan boneka hewan.
Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang
membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke persimpangan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Secara keseluruhan, kawasan Malioboro terdiri atas Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo
Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Jalan ini menghubungkan Tugu Yogyakarta hingga menjelang kompleks Keraton Yogyakarta. Di sisi utara
adalah Jalan Margo Utomo, yang terbentang dari selatan kawasan Tugu hingga sisi timur Stasiun
Yogyakarta. Antara Jalan Margo Utomo dan Jalan Malioboro dipisahkan dengan perlintasan kereta api yang
cukup unik, di mana perlintasan ini menggunakan palang pintu berjenis geser.
Pada masa lalu, perlintasan ini dapat dilintasi oleh kendaraan umum sebagai penghubung Jalan Margo
Utomo menuju Malioboro. Namun karena meningkatnya volume kendaraan yang melintas, membuat
perlintasan ini hanya boleh dilintasi oleh kendaraan-kendaraan kecil seperti becak atau sepeda, sedangkan
kendaraan lain harus memutar terlebih dahulu ke arah timur melewati Jembatan Kewek, kemudian berbelok
ke arah barat melalui Jalan Abu Bakar Ali, barulah sampai di Jalan Malioboro.
Jalan Malioboro sebenarnya hanya terbentang dari sisi selatan rel kereta api, di depan Hotel Grand Inna
hingga berakhir di Pasar Beringharjo sisi timur. Dari titik ini, nama jalan berubah menjadi Jalan Margo
Mulyo hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Di sini terdapat bekas kediaman gubernur Hindia-Belanda di
sisi barat dan Benteng Vredeburg di sisi timur. Jalan Malioboro menjadi batas antara Kemantren
Gedongtengen dan Kemantren Danurejan, di mana sisi barat Malioboro adalah wilayah dari kemantren
Gedongtengen, dan sisi timur Malioboro adalah wilayah dari kemantren Danurejan. Sedangkan seluruh sisi
jalan Margo Utomo adalah wilayah dari Kemantren Jetis, dan sisi jalan Margo Mulyo adalah wilayah
dari Kemantren Gondomanan.
Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan ini, antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun
Yogyakarta, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Kantor DPRD DIY, Benteng Vredeburg, Hotel Grand Inna,
Komplek Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Jalan Malioboro terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan
warung-warung lesehan di malam hari yang menjual kuliner Jogja seperti gudeg. Jalan ini juga terkenal
sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti
bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain
setidaknya ada tiga teori terkait asal usul nama Jalan Malioboro:
1. Teori pertama berpendapat bahwa nama Malioboro diambil dari gelar John Churchill sebagai
Adipati Marlborough Pertama (1650-1722), jenderal dari Inggris yang paling terkenal pada
masanya. Nama ini digunakan untuk benteng pertahanan inggris di Bengkulu yang
dinamakan Benteng Marlborough. Namun, teori ini dibantah oleh sejarawan Peter
Carey yang mengemukakan bahwa tidak mungkin jalan yang digunakan sebagai jalan utama
bagi Kesultanan Yogyakarta berasal dari nama Inggris.
2. Teori kedua dikemukakan tokoh asal Jogja yang berpendapat nama Malioboro mungkin
berasal dari nama penginapan (pesanggrahan) yang digunakan Jayengrana (Amir Hamzah)
tokoh utama Cerita Menak yang mengadopsi Hikayat Amir Hamzah.
3. Teori ketiga berasal dari Peter Carey yang berpendapat nama Malioboro berasal dari bahasa
Jawa "maliabara" yang diadopsi dari bahasa Sanskerta "malyabhara" yang berarti "dihiasi
karangan bunga". Hal ini berdasarkan teori nama "Ngayogyakarta" berasal dari bahasa
Sanskerta "Ayodhya" (bahasa Jawa: Ngayodya), ibu kota kerajaan Rama di
epos Ramayana sehingga wajar bila kesultanan menggunakan atau mengadopsi bahasa
Sanskerta untuk nama jalan atau nama tempat-tempat lainnya. Secara etimologi, hubungan
antara nama jalan "Maliabara" dengan kata dalam bahasa Sanskerta "malyabhara" juga
pernah disinggung oleh Profesor C.C. Berg pada kuliah di Universitas Leiden pada 1950–
1960-an dan Dr. O.W. Tichelaar dalam sebuah karya ilmiah pada Kongres Orientalis
Internasional ke-28 di Canberra, Australia. Maka dari itu, penggunaan nama "Maliabara"
yang berasal dari bahasa Sanskerta untuk menamai jalan yang dibangun Hamengkubuwana I,
sultan pertama Kesultananan Yogyakarta, setidaknya sejak tahun 1755 cukup masuk akal.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jalan ini sempat berubah nama menjadi "Margaraja", yang berarti
jalan bagi tamu-tamu kerajaan menuju kediaman raja (keraton). Nama tersebut diberikan sesuai fungsi awal
dari Malioboro yang menjadi jalan utama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer Utara-Selatan Pantai Parangkusumo - Kraton
Yogya - Gunung Merapi. Jalan Malioboro dimulai di dekat area keraton menuju ke arah utara hingga Tugu
Yogya. Jalan salah satu elemen terpenting sebagai garis imajiner yang menghubungkan keraton dengan
Gunung Merapi yang dianggap sakral sesuai dengan sumbu filosofi kota Yogyakarta.
Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan utama kerajaan (rajamarga) untuk kegiatan seremonial kesultanan.
Saat sultan keluar dari istana dalam dan duduk di Sitinggil pada upacara publik, ia dapat melihat langsung
Jalan Malioboro hingga Tugu di kejauhan. Antara Jalan Malioboro dan keraton terdapat dua pohon beringin
yang diberi pagar persegi (waringin kurung) di Alun-alun Utara. Beringin kembar ini menyimbolkan
penyatuan dua hal yang bertolakbelakang (loroning atunggal). Adanya tugu di sebelah utara dan beringin
kembar di antara jalan utama ibu kota kesultanan memiliki arti simbolis dan filosofis yang kuat yang
diciptakan oleh Hamengkubuwana I.
Selain itu, jalan ini juga digunakan saat kunjungan resmi pejabat kolonial Belanda dan Inggris, seperti
gubernur jenderal, untuk memasuki keraton Yogyakarta. Jalan ini punya dua fungsi penting: pertama,
sebagai bentuk penghormatan kepada pejabat yang berkunjung. Kedua, sebagai cara untuk menetralisir
kekuatan pejabat yang berkunjung dengan melewati tugu dan beringin kurung, mengingat pejabat akan lewat
dari arah utara jalan ini. Arah utara dalam filosofi Jawa diasosiasikan dengan kegelapan, kematian, dan ilmu
hitam.
Pada abad ke-18 di jalan ini bermukim orang-orang dari berbagai etnis, seperti Jawa, Tionghoa, dan
Belanda. Menurut Sasmito, sejak 1765 orang-orang Belanda dan Tionghoa menghuni bagian utara kota
Yogyakarta, sementara orang Jawa menghuni sisanya. Hal ini terlihat dari bentuk arsitektur pemukiman di
dekat bagian selatan Malioboro yang mendapat pengaruh dari arsitektur Tiongkok. Sementara pemukiman di
dekat bagian utara Malioboro mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa dan Belanda, sehingga di sekitar Jalan
Malioboro dapat terlihat gabungan gaya arsitektur Jawa-Tionghoa-Beland
Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun Benteng Vredeburg
pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini. Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch
Club tahun 1822, Kediaman Gubernur Belanda tahun 1830, Bank Java dan Kantor Pos tak lama setelahnya.
Setelah itu, Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan antara orang Belanda dengan pedagang
Tionghoa. Pada 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta
api yang kini bernama Stasiun Tugu.
Saat pandemi flu Spanyol pada Oktober-November 1918 dan wabah penyakit pada 1932, Jalan Malioboro
digunakan untuk arak-arakan keliling kota membawa pusaka kerajaan, Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan
Kangjeng Kyai Pare Anom.
Pengaruh Belanda semakin kuat sejak dibangun Benteng Vredeburg hingga 1936 ketika orang Belanda
mendominasi pemukiman di dekat benteng dan di sisi selatan stasiun. Pengaruh Tionghoa juga meningkat
ketika etnis Tionghoa mendominasi pemukiman di hampir sepanjang jalan ini sekitar tahun 1936.
Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan
Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda
yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1
Maret 1949, yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan
kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada. Setelah kemerdekaan, jalan ini juga digunakan
untuk pawai tahunan pasukan garnisun Yogya saat peringkatan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun 1980-an menjadi satu arah saja, dari jalur
kereta api (di mana ia memulai) ke selatan - ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar dan
tertua di Yogyakarta, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur yang berdekatan dengan jalur
kereta api. Di sini terdapat bekas kompleks perdana menteri (kepatihan) di sisi timur.
Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah iklan rokok ditempatkan di bangunan
pertama di sebelah selatan jalur kereta api - atau secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang
mengiklankan rokok Marlboro, tidak diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang asing yang
akan melihat kata-kata dengan nama jalan dengan produk asing sedang diiklankan. Jalan ini menjadi pusat
komersial yang dipenuhi toko-toko di sepanjang jalan.
Jalan Malioboro punya arti penting sebagai salah satu pusat perekonomian, hiburan, wisata, dan kuliner kota
Yogyakarta. Penggunaan jalan ini pada umumnya dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL), pertokoan,
penduduk lokal, dan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 2013 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro
dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan
Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo.
Pada 2019, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membuat grand design untuk melakukan
penataan Jalan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian. Pada 2021 pemerintah provinsi DIY telah
membangun 37 sarana prasarana dengan total biaya Rp 78 miliar untuk penataan kawasan agar
meningkatkan minat wisatawan. Selain itu, pemerintah juga merelokasi PKL di Jalan Malioboro ke Pusat
UMKM di depan Pasar Beringhargo dan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY yang ditargetkan dimulai
Januari 2022.
Sebagai jalan legendaris, Malioboro juga menjadi daya tarik bagi seniman untuk mengekspresikan karya
mereka. Beberapa karya seni terinspirasi dari jalan ini.
Musisi Surakarta, Didi Kempot, membuat lagu asmara yang judulnya diambil dari nama jalan ini,
yakni Bangjo Malioboro dan Angin Malioboro. Ada pula Doel Sumbang yang menciptakan
lagu Malioboro pada tahun 1988, lagu tersebut mengisahkan tentang perjalanan dua sejoli di jalan
Malioboro pada malam hari. Lagu Yogyakarta yang diciptakan oleh Katon Bagaskara pada tahun 1990
dalam album Kedua juga mencitrakan Malioboro pada malam hari, meski tidak disebutkan secara langsung.
Marselli, sutradara film nasional juga mengangkat nama Malioboro dengan memproduksi
film Malioboro pada tahun 1989.
Malioboro juga diangkat oleh PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi VI Yogyakarta menjadi nama
kereta, yakni Kereta api Malioboro Ekspres dengan relasi Yogyakarta-Malang pulang pergi
kerenn bangg
BalasHapuscumi goreng tepung
BalasHapus29 found, 1 identified
Hapuskerennn
BalasHapusblog fachry sangat bagus, penjelasanya sangat lengkap dan terperinci
BalasHapushttps://www.youtube.com/watch?v=lWDpYps-kZM
BalasHapus